Exchange Money Trading

Rabu, 18 Juni 2008

Pemimpin dan Kawasan Indonesia Timur

Pemimpin Baru Diminta Perhatikan Kawasan Timur Indonesia

Jakarta, CyberNews. Kebijakan pemerintah dinilai kurang memperhatikan pembangunan ekonomi di wilayah Indonesia Timur. Kebijakan itu juga tidak pernah secara tuntas meningkatkan kesejahteraan masyarakat di wilayah tersebut.

‘’Oleh karena itu, kami akan berjuang dengan segenap elemen untuk melahirkan pemimpin baru melalui Pemilu 2009,’’ kata Koordinator Solidaritas Kebangkitan Ekonomi Kawasan Timur Indonesia (TATA - KTI) Zainal Bintang dalam diskusi di Gedung DPD RI Senayan Jakarta, Rabu (18/6).



Menurutnya, pemimpin baru itu harus berjiwa negarawan dan bisa membangun kembali harapan masyarakat Indonesia Timur yang runtuh akibat kekecewaan. Sebab, lanjutnya, selama ini mereka merasa dinafikkan oleh kebijakan nasional.

Meski diskusi tersebut dikatakannya bukan pelestarian ‘rezim’ yang berkuasa saat ini, namun TATA – KTI tidak secara eksplisit mendukung capres/cawapres yang dianggap bisa memperhatikan wilayah Timur. ‘’Makanya, kita butuh pemimpin yang bisa mengembangkan KTI. Tidak harus dari KTI. Yang jelas, orang tersebut memiliki kepedulian terhadap KTI,’’ kilahnya.

Di tempat yang sama, Ketua Umum PP Muhamadiyah Din Syamsudin menegaskan, ada eksploitasi dan ketidakadilan di KTI yang berlangsung sejak lama. Jika tidak segera diatasi, bukan hanya tidak baik untuk KTI dan juga NKRI.

‘’Oleh karena itu, dukungan saya kepada TATA - KTI, jangan dilihat sebagai sebuah gerakan sektarian. Kami tidak mempermasalahkan apakah presiden dan wapresnya dari Indonesia Timur atau bukan. Tapi, siapapun yang terpilih harus punya komitmen untuk ‘melihat’ ke Timur,’’ ujarnya.

Pria asli Sumbawa, Nusa Tenggara Barat itu juga membantah TATA - KTI bersikap primordial, apalagi mengarah pada separatisme. ‘’KTI adalah kawasan yang paling Indonesia dari sudut kemajemukannya, dari sudut agama dan bahasa. Untuk itu, gerakan TATA – KTI harus diperluas,’’ tandasnya.

Sementara Wakil Ketua DPD RI Laode Ida menegaskan, sistem politik yang ada di Indonesia membuat orang non Jawa bisa menjadi presiden. Lain halnya bila sistem tersebut diubah.

‘’Perlu ada pendidikan politik mendasar untuk menghilangkan primordialisme. Sebab, persoalan pilihan ternyata sangat primordial. Kita tidak ingin melakukan perombakan fundamental. Tapi yang jelas, kita akan mendukung presiden yang memiliki komitmen terhadap KTI,’’ tandasnya.

Laode menambahkan, pihaknya tidak akan memilih capres yang hanya mementingkan dirinya sendiri. ‘’Sebenarnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memiliki peluang. Tapi sampai hari ini belum terlihat,’’ sesalnya.

Namun, lanjutnya, bila dalam waktu yang tersisa SBY mampu menunjukkan perhatiannya kepada KTI, maka dirinya tidak ragu untuk mendukungnya. ‘’Wapresnya bisa saja Pak Din Syamsudin. Tapi, jangan lagi mencalonkan orang yang hanya mementingkan diri dan kelompoknya.’’

(Saktia Andri Susilo /CN09)


[+/-] Selengkapnya...

Kamis, 05 Juni 2008

Posisi Dilematis TNI
[Opini]

Posisi Dilematis TNI
Oleh Dimyati J Sentono


Kondisi kekuatan TNI yang dilematis memicu kekuatan militer asing untuk pasang aksi, memprovokasi dengan melakukan pelanggaran wilayah baik darat, laut, maupun udara. Karenanya pertahanan militer harus diperkuat dengan penambahan Alutsista modern yang dibutuhkan TNI. Tidak ada rakyat yang bangga kalau memiliki tentara yang lemah.
Situasi dilematis belum pernah dialami oleh TNI seperti situasi saat ini. Di tengah spektrum ancaman semakin tinggi dan nyata yang harus dihadapi, kekuatan militer Indonesia berada dalam posisi yang kurang menguntungkan. Mampukah TNI menjaga keutuhan dan kedaulatan negara sesuai fungsinya di tengah keterbatasan yang dimilikinya?
Sudah menjadi rahasia umum kalau kekuatan militer Indonesia saat ini betul-betul memprihatinkan. Personilnya sangat minim bila dibandingkan dengan jumlah penduduk maupun luas wilayah yang harus dipertahankannya. Alat utama sistem persenjataannya yang dimilikinya juga sangat minim dan telah berusia tua. Dengan kondisi seperti itu muncul kekhawatiran, mampukah tentara kita melaksanakan tugasnya dengan baik. Mungkin kalau untuk melaksanakan operasi militer selain perang seperti operasi menumpas separatis, bantuan polisi, membantu bencana alam dan operasi kategori civic mission lainnya dapat dikatakan kekuatan TNI sudah cukup. Tetapi akan menjadi tanda tanya besar, apakah kekuatan militer kita baik dari sisi jumlah personil maupun peralatan persenjataan memadai untuk melaksankan operasi militer untuk perang. Dapat melaksanakan dan memenangkan perang konvensional menghalau musuh musuh dari luar yang mungkin mengintervensi wilayah Indonesia.
Dari sisi personil, berdasarkan estimasi jumlah militer tidak lebih dari 300.000 personil. Jumlah ini sangat tidak sebanding dengan penduduk Indonesia yang mencapai sekitar 275 juta jiwa. Persentase militer hanya mencapai 0,1 persen dibanding jumlah penduduk Indonesia. Bandingkan dengan kekuatan militer negara lain, ASEAN misalnya. Singapura mencapai lebih dar 2 persen, Malaysia 1,2 persen , Filiphina 1,1 persen. Thailand 0,9 persen. Jumlah personil militer Indonesia itu pun bukan mutlak combatan sebagai pasukan tempur. Sebagian besar didominasi tenaga administrasi, prajurit teritorial dan pendukung lainnya.
Maka tidaklah mengherankan bila pada waktu lalu mantan Panglima TNI Endriartono Sutarto mengatakan sulit mengatur tugas prajuritnya dihadapkan dengan padatnya tugas yang harus dihadapi oleh TNI. Tenaga prajurit TNI seperti diperas. Banyak batalyon yang tidak sempat beristirahat cukup di home base. Tidak sempat melaksanakan program latihan. Satu tugas selesai, tugas lain telah menghadang. Bahkan rata-rata masa penugasan pasukan TNI lebih dari satu tahun. Padahal idealnya penugasan pasukan di medan operasi tidak lebih dari enam bulan.
Dari sisi persenjataan yang dimiliki TNI juga sangat memprihatinkan, baik dari sisi kuantitas dan kualitas. Sangat jauh ketinggalan dibanding negara tetangga yang walayahnya lebih kecil. Kekuatan armada laut menurut KSAL Laksamana Slamet Subiyanto yang dengan jujur membeberkan kondisi peralatan alutsista yang dimiliki TNI Angkatan Laut. Kapal perang Indonesia jumlahnya sangat sedikit jauh dari ideal dan dibominasi kapal- kapal tua. Menurut data yang bersumber dari Cordesman dan The Military Balance 2005 kapal perang yang dimiliki Indonesia 158 buah. Dari jumlah tersebut sebagian besar lebih dari 70 persen merupakan kapal angkut yang sudah berusia tua dan tidak dapat dioperasikan lagi. Sementara kapal pemukul seperti jenis korvet, fregat maupun kapal selam jumlahnya dapat dihitung dengan jari. Kapal tempur yang dimiliki TNI AL juga tidak dilengkapi dengan persenjataan yang memadai.
TNI Angkatan Laut kini tengah berusaha melengkapi kapal perangnya dengan senjata yang lebih modern seperti exocet. Bandingkan dengan kekuatan laut yang dimiliki negara tetangga. Angkatan Laut Thailand diperkuat 168 kapal perang, Malaysia 165, Singapura 71 dan Filipina 105 kapal perang.
Begitupula dengan kekuatan udara yang dimiliki Indonesia. Untuk radar saja, jumlah radar TNI AU masih sangat jauh dari kebutuhan ideal. Hanya memiliki 17 radar dari 32 kebutuhan ideal yang bisa mengkover seluruh wilayah udara Indonesia. Sementara pesawat tempur Indonesia juga sangat minim. Indonesia hanya memiliki pesawat tempur kurang lebih 107 dari berbagai jenis. Bandingkan dengan pesawat tempur Thailand yang diperkuat dengan 241 buah, Malaysia 101 buah, Singapura 154 buah, Philipina 117 buah. Jumlah tank sebagai alutsista andalan angkatan darat juga sangat sedikit dibandingkan kekuatan tank negara tetangga. Indonesia hanya memiliki 1.197 buah dari jenis tank dan panser, Thailand 2.011 buah, Malaysia 1.236, Singapura 2.104 buah dan Philipina 604 buah. Kekuatan militer tersebut belum dibandingkan dengan kekuatan militer dari Australia dan New Zealand, negara tetangga Indonesia di sebelah selatan.
Kondisi kekuatan TNI yang sangat minim itu tentu diketahui oleh militer asing. Tidaklah mengherankan bila militer asing mulai berani pasang aksi. Memprovokasi tentara kita dengan melakukan pelanggaran wilayah baik udara maupun laut. Membuat masalah dengan klaim-klaim sepihak wilayah yang selama ini sebagai wilayah Indonesia, seperti yang dilakukan Malaysia di perairan Ambalat. Eskalasi ancaman terhadap Indonesia bukan semakin ringan, sebaliknya malah semakin meningkat. Pertahanan militer harus diperkuat, salah satunya dengan penambahan Alutsista modern yang dibutuhkan TNI.
Ironisnya, dalam setiap pengadaan Alutsista sering berjalan kurang mulus. Selalu terjadi hambatan baik dalam hal kebijakan maupun pelaksanannya di lapangan. Rencana maupun pelaksanaan pembelian alutsista selalu saja berjalan alot di DPR. Lebih parah lagi banyak pembelian peralatan militer yang berbuntut terjadinya penyelewengan. Hal ini bisa kita cermati dengan kebijakan pemerintah pada waktu akan membeli panser VAB buatan Perancis untuk memperkuat Kontingen Garuda di Lebanon yang perdebatannya sangat panjang di DPR.
Kasus pembelian kapal eks Jerman Timur, kasus pembelian Sukhoi, Hellycopter MI -35, MI 17 dan kasus pengadaan peralatan militer lainnya. Dari beberapa kasus tersebut dapat disimpulkan belum dimiliknya kesadaran terhadap krisis terkait kondisi militer dan spektrum ancaman yang tengah dihadapi. Harus ada sense of crisis dari pemerintah, DPR dan para pejabat yang terkait dengan pembelian persenjataan militer, sehingga hambatan dan kasus terkait dengan pembelian senjata dapat dihindarkan dimasa yang akan datang.
Sudah waktunya TNI dilengkapi dengan peralatan dan persenjataan yang memadai. Tidak ada rakyat yang bangga kalau memiliki tentara yang lemah. Kita akan bangga bila TNI menjadi militer yang kuat dan mampu menjaga keutuhan dan kedaulatan negara.

Penulis alumnus Fisipol UGM, tinggal di Bogor

[+/-] Selengkapnya...

BANGSA YANG SAKIT

Ditulis Oleh Fatkhuri, MA
05-06-2008,
SUMBER SUARA MERDEKA

Dengan kekuatan fisik yang mereka punya, mereka bebas melakukan pemukulan, pembantaian terhadap saudara sendiri. Padahal mereka mengklaim diri sebagai orang-orang yang saleh, beriman, beragama. Dengan lantang mengucap lafadz Allah Akbar, mereka membantai saudara sendiri, sungguh tidak bisa diterima oleh akal sehat kita, karena agama manapun tidak ada yang mengajarkan kekerasan, dan penting untuk dicatat, Islam adalah agama yang penuh kedamaian dan tidak sedikit pun mentoleransi kekerasan. Adalah sejumlah anggota FPI yang melakukan pembantaian terhadap masa Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan.

Dengan sedemikian garangnya, kelompok itu melakukan kekerasan terhadap massa yang berencana merayakan hari lahir Pancasila. Sungguh ironis sekali ketika sekian banyak elemen bangsa berencana memperingati hari lahir Pancasila dengan mengusung kebhinekaan dalam bingkai persatuan, justru terhadang aksi membabi buta laskar pembela Islam (FPI). Lebih ironis lagi, salah satu anggota FPI yang melakukan tindak kriminal tersebut justru orang yang selama ini getol memperjuangkan demokrasi dan anti kekerasan.

Melihat realitas ini, saya berkesimpulan bahwa bangsa kita memang sedang sakit parah. Penyerbuan Polri ke kampus UNAS, adalah fakta yang tidak jauh berbeda, di mana instrumen negara, abai melaksanakan tanggung jawabnya. Mereka dengan kekuatan fisik yang dimiliki, secara bebas, melakukan penyerbuan dan penganiayaan terhadap sekelompok mahasiswa yang sedang memperjuangkan aspirasi rakyat.

Kita tahu, polisi adalah pengayom dan pelindung rakyat (paling tidak itu selalu menjadi slogan). Namun pada kenyataannya, polisi tidak lagi menunjukan rasa aman dan damai di masyarakat. Pada saat yang sama, mahasiswa yang tugas dan fungsinya di samping belajar, adalah memperjuang aspirasi rakyat, namun dengan garang, mahasiswa juga melakukan penganiyaan kepada salah satu anggota polisi, di depan Kampus Mustopo Beragama Jakarta.

Pada level bawah, rakyat Indonesia sendiri, tidak jarang melakukan aksi kekerasan satu sama lain, demi untuk mempertahankan kehidupan mereka yang semakin terjepit oleh kemiskinan. Tidak jarang kita mendengar fenomena anak membunuh orang tua, orang tua membunuh anak, istri membunuh suami, suami membunuh istri.

Fenomena demikian menjadi kian dekat dengan kehidupan bangsa kita, bangsa yang dikenal dengan mayoritas penduduk muslim, bangsa yang dikenal dengan keramahan dan kesopannya, namun, tradisi itu tergerus oleh perubahan zaman yang semakin menghimpit kehidupan kita.

Para pemimpin kita, pun tidak kalah ganasnya. Mereka dengan cara yang lebih santun, melakukan kekerasan atas nama kepentingan politik, ekonomi dan lain sebagainya. Fenomena kenaikan BBM mencerminkan betapa pemimpin Indonesia hanya mementingkan kepentingan negara dari pada kepentingan rakyat. Padahal menyelamatkan penderitaan rakyat adalah prioritas karena menurut banyak pengamat dan pakar, masih banyak alternatif lain yang bisa ditempuh selain menaikan harga BBM.

Sejatinya pemerintah melempar wacana kenaikan BBM tersebut kepada masyarakat dengan mengundang tokoh masyarakat, pakar, ilmuwan dan lain sebagainya untuk berembug masalah ini. Namun, dari opsi terakhir yang dipilih pemimpin kita, sedikitpun mereka tidak mencoba memilih opsi-opsi yang pertama, kedua, ketiga dan tidak tahu sampai berapa. Kenapa pemerintah tidak menjelaskan baik buruknya dari sekian banyak opsi tersebut? Kenapa pemerintah hanya menyebutkan kenaikan BBM adalah opsi terakhir? Yang dibutuhkan rakyat sebetulnya penjelasan tentang kenaikan BBM dan mengapa opsi itu dipilih? Dan apakah bisa ditempuh cara yang lain, agar nasib rakyat tidak semakin menderita?

Fakta menunjukan bahwa pemerintah kita lebih takut keuangan negara (baca: keuangan mereka) jeblok, daripada melihat rakyat senang dan hidup bahagia. Inilah kekerasan terstruktur yang dilakukan negara kepada rakyatnya. Negara abai dengan nasib rakyat yang semakin hari semakin terjepit.

Jangan disalahkan kalau dampak kebijakan ini, rakyat Indonesia semakin menjadi rakyat yang tidak rasional, nekat, dan suka dendam. Jangan disalahkan kalau masyarakat kita menjadi tidak bermoral, dan suka dengan tradisi kekerasan. Jangan salahkan rakyat kalau mereka kemudian mengambil jalan pintas seperti menjadi pelacur sebagaimana kondisi PSK di Kediri yang melonjak drastis sebagai dampak dari kebijakan tersebut.

Bangsa Indonesia saat ini sedang sakit. Rakyatnya sakit, pemerintahnya sakit, semua sakit. Dalam kondisi labil seperti ini, siapapun bisa garang, bahkan cacing pun kalau diinjak pasti melawan. Masyarakat menjerit kelaparan, sementara pemimpinnya takut miskin dengan menaikan harga BBM yang jelas-jelas semakin menambah sakit rakyat Indonesia. Di saat rakyat dan pemimpinnya sakit, polisi sebagai pelindung dan pengayom rakyat, tempat rakyat berkeluh-kesah, juga sakit. Terus kalau semua sakit, kepada siapa rakyat mengadukan nasib? Mau kemana arah bangsa ini?

[+/-] Selengkapnya...

Minggu, 01 Juni 2008

Amien: Indonesia Dalam Bahaya

Ditulis Oleh Sulistyawan

Gejala koorporatokrasi yang dimaksudkan Amien adalah adanya penguasaan dari para saudagar terhadap sendi-sendi vital negara ini. Salah satunya penguasaan terhadap BUMN yang merupakan gantungan nafas negara ini. "Terakhir saya dapat informasi bahwa ada 47 BUMN yang menguntungkan seperti Garuda, BNI 46, Merpati dan Krakatau Steel yang akan dijual kepada pihak asing. Ketololan ini sudah sangat luar biasa dan tidak bisa ditolerir lagi," ujar Amien dalam launching buku karyanya, "Selamatkan Indonesia", di GOR UNY, Karang Malang Yogyakarta, belum lama ini.

Ditambahkan Amien, jika negara benar-benar mengambil kebijakan untuk menjual 47 BUMN yang sedang dalam kondisi menguntungkan tersebut, maka negara ini akan kembali kepada masa kolonialisme seperti jaman VOC. Semua pihak harus satu kata untuk menolaknya. Jika tidak, maka kondisi bangsa ini akan semakin terpuruk dan kita akan menjadi budak bangsa lain.

Amien mengingatkan bahwa di masa lalu, bangsa ini pernah membuat sebuah kebodohan dengan menjual Indosat kepada Temasek Singapura. Jika tidak dicegah, kebodohan ini akan segera terulang. "Seekor keledai saja tak akan terantuk batu yang sama sebanyak dua kali. Jika kita mengulangnya, berarti kita lebih bodoh dari keledai," tandas Amien.

Menanggapi pernyataan Wapres Yusuf Kalla yang menudingnya tak tahu apa-apa tentang penjualan aset negara, Amien justru menganggap Kalla lah yang memiliki pemikiran warisan penjejah. "Ketika beliau (Yusuf Kalla) menyatakan bahwa saya tak tahu apa-apa, nyaris saja saya katakan bahwa 'you are nothing', kamulah yang sesungguhnya tak ada apa-apanya. Tapi saya masih tahu sopan santun dan saya tak katakan itu," ujar Amien.

Dalam kesempatan tersebut Amien juga menyatakan tanggapannya terhadap adanya tuntutan agar dirinya kembali begerak mengawal reformasi seperti tahun 1998 lalu. Menurut Amien, sekarang ini sudah saatnya generasi muda tak lagi menggantungkan sikap pada orang tua tetapi anak muda yang harus maju di garda depan, melanjutkan perjuangan reformasi yang baru berjalan 20 persen. "Saya sebagai orang tua selalu mendukung. Tetapi masak saya lagi? Giliran kalian dong. Kalau apa-apa kok Amien Rais, lah Anda ini maunya ngapain?".

Lho, bukannya Bapak berniat mau maju lagi di Pemilu 2009?

[+/-] Selengkapnya...