Exchange Money Trading

Kamis, 05 Juni 2008

BANGSA YANG SAKIT

Ditulis Oleh Fatkhuri, MA
05-06-2008,
SUMBER SUARA MERDEKA

Dengan kekuatan fisik yang mereka punya, mereka bebas melakukan pemukulan, pembantaian terhadap saudara sendiri. Padahal mereka mengklaim diri sebagai orang-orang yang saleh, beriman, beragama. Dengan lantang mengucap lafadz Allah Akbar, mereka membantai saudara sendiri, sungguh tidak bisa diterima oleh akal sehat kita, karena agama manapun tidak ada yang mengajarkan kekerasan, dan penting untuk dicatat, Islam adalah agama yang penuh kedamaian dan tidak sedikit pun mentoleransi kekerasan. Adalah sejumlah anggota FPI yang melakukan pembantaian terhadap masa Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan.

Dengan sedemikian garangnya, kelompok itu melakukan kekerasan terhadap massa yang berencana merayakan hari lahir Pancasila. Sungguh ironis sekali ketika sekian banyak elemen bangsa berencana memperingati hari lahir Pancasila dengan mengusung kebhinekaan dalam bingkai persatuan, justru terhadang aksi membabi buta laskar pembela Islam (FPI). Lebih ironis lagi, salah satu anggota FPI yang melakukan tindak kriminal tersebut justru orang yang selama ini getol memperjuangkan demokrasi dan anti kekerasan.

Melihat realitas ini, saya berkesimpulan bahwa bangsa kita memang sedang sakit parah. Penyerbuan Polri ke kampus UNAS, adalah fakta yang tidak jauh berbeda, di mana instrumen negara, abai melaksanakan tanggung jawabnya. Mereka dengan kekuatan fisik yang dimiliki, secara bebas, melakukan penyerbuan dan penganiayaan terhadap sekelompok mahasiswa yang sedang memperjuangkan aspirasi rakyat.

Kita tahu, polisi adalah pengayom dan pelindung rakyat (paling tidak itu selalu menjadi slogan). Namun pada kenyataannya, polisi tidak lagi menunjukan rasa aman dan damai di masyarakat. Pada saat yang sama, mahasiswa yang tugas dan fungsinya di samping belajar, adalah memperjuang aspirasi rakyat, namun dengan garang, mahasiswa juga melakukan penganiyaan kepada salah satu anggota polisi, di depan Kampus Mustopo Beragama Jakarta.

Pada level bawah, rakyat Indonesia sendiri, tidak jarang melakukan aksi kekerasan satu sama lain, demi untuk mempertahankan kehidupan mereka yang semakin terjepit oleh kemiskinan. Tidak jarang kita mendengar fenomena anak membunuh orang tua, orang tua membunuh anak, istri membunuh suami, suami membunuh istri.

Fenomena demikian menjadi kian dekat dengan kehidupan bangsa kita, bangsa yang dikenal dengan mayoritas penduduk muslim, bangsa yang dikenal dengan keramahan dan kesopannya, namun, tradisi itu tergerus oleh perubahan zaman yang semakin menghimpit kehidupan kita.

Para pemimpin kita, pun tidak kalah ganasnya. Mereka dengan cara yang lebih santun, melakukan kekerasan atas nama kepentingan politik, ekonomi dan lain sebagainya. Fenomena kenaikan BBM mencerminkan betapa pemimpin Indonesia hanya mementingkan kepentingan negara dari pada kepentingan rakyat. Padahal menyelamatkan penderitaan rakyat adalah prioritas karena menurut banyak pengamat dan pakar, masih banyak alternatif lain yang bisa ditempuh selain menaikan harga BBM.

Sejatinya pemerintah melempar wacana kenaikan BBM tersebut kepada masyarakat dengan mengundang tokoh masyarakat, pakar, ilmuwan dan lain sebagainya untuk berembug masalah ini. Namun, dari opsi terakhir yang dipilih pemimpin kita, sedikitpun mereka tidak mencoba memilih opsi-opsi yang pertama, kedua, ketiga dan tidak tahu sampai berapa. Kenapa pemerintah tidak menjelaskan baik buruknya dari sekian banyak opsi tersebut? Kenapa pemerintah hanya menyebutkan kenaikan BBM adalah opsi terakhir? Yang dibutuhkan rakyat sebetulnya penjelasan tentang kenaikan BBM dan mengapa opsi itu dipilih? Dan apakah bisa ditempuh cara yang lain, agar nasib rakyat tidak semakin menderita?

Fakta menunjukan bahwa pemerintah kita lebih takut keuangan negara (baca: keuangan mereka) jeblok, daripada melihat rakyat senang dan hidup bahagia. Inilah kekerasan terstruktur yang dilakukan negara kepada rakyatnya. Negara abai dengan nasib rakyat yang semakin hari semakin terjepit.

Jangan disalahkan kalau dampak kebijakan ini, rakyat Indonesia semakin menjadi rakyat yang tidak rasional, nekat, dan suka dendam. Jangan disalahkan kalau masyarakat kita menjadi tidak bermoral, dan suka dengan tradisi kekerasan. Jangan salahkan rakyat kalau mereka kemudian mengambil jalan pintas seperti menjadi pelacur sebagaimana kondisi PSK di Kediri yang melonjak drastis sebagai dampak dari kebijakan tersebut.

Bangsa Indonesia saat ini sedang sakit. Rakyatnya sakit, pemerintahnya sakit, semua sakit. Dalam kondisi labil seperti ini, siapapun bisa garang, bahkan cacing pun kalau diinjak pasti melawan. Masyarakat menjerit kelaparan, sementara pemimpinnya takut miskin dengan menaikan harga BBM yang jelas-jelas semakin menambah sakit rakyat Indonesia. Di saat rakyat dan pemimpinnya sakit, polisi sebagai pelindung dan pengayom rakyat, tempat rakyat berkeluh-kesah, juga sakit. Terus kalau semua sakit, kepada siapa rakyat mengadukan nasib? Mau kemana arah bangsa ini?

Tidak ada komentar: