Exchange Money Trading

Kamis, 05 Juni 2008

Posisi Dilematis TNI
[Opini]

Posisi Dilematis TNI
Oleh Dimyati J Sentono


Kondisi kekuatan TNI yang dilematis memicu kekuatan militer asing untuk pasang aksi, memprovokasi dengan melakukan pelanggaran wilayah baik darat, laut, maupun udara. Karenanya pertahanan militer harus diperkuat dengan penambahan Alutsista modern yang dibutuhkan TNI. Tidak ada rakyat yang bangga kalau memiliki tentara yang lemah.
Situasi dilematis belum pernah dialami oleh TNI seperti situasi saat ini. Di tengah spektrum ancaman semakin tinggi dan nyata yang harus dihadapi, kekuatan militer Indonesia berada dalam posisi yang kurang menguntungkan. Mampukah TNI menjaga keutuhan dan kedaulatan negara sesuai fungsinya di tengah keterbatasan yang dimilikinya?
Sudah menjadi rahasia umum kalau kekuatan militer Indonesia saat ini betul-betul memprihatinkan. Personilnya sangat minim bila dibandingkan dengan jumlah penduduk maupun luas wilayah yang harus dipertahankannya. Alat utama sistem persenjataannya yang dimilikinya juga sangat minim dan telah berusia tua. Dengan kondisi seperti itu muncul kekhawatiran, mampukah tentara kita melaksanakan tugasnya dengan baik. Mungkin kalau untuk melaksanakan operasi militer selain perang seperti operasi menumpas separatis, bantuan polisi, membantu bencana alam dan operasi kategori civic mission lainnya dapat dikatakan kekuatan TNI sudah cukup. Tetapi akan menjadi tanda tanya besar, apakah kekuatan militer kita baik dari sisi jumlah personil maupun peralatan persenjataan memadai untuk melaksankan operasi militer untuk perang. Dapat melaksanakan dan memenangkan perang konvensional menghalau musuh musuh dari luar yang mungkin mengintervensi wilayah Indonesia.
Dari sisi personil, berdasarkan estimasi jumlah militer tidak lebih dari 300.000 personil. Jumlah ini sangat tidak sebanding dengan penduduk Indonesia yang mencapai sekitar 275 juta jiwa. Persentase militer hanya mencapai 0,1 persen dibanding jumlah penduduk Indonesia. Bandingkan dengan kekuatan militer negara lain, ASEAN misalnya. Singapura mencapai lebih dar 2 persen, Malaysia 1,2 persen , Filiphina 1,1 persen. Thailand 0,9 persen. Jumlah personil militer Indonesia itu pun bukan mutlak combatan sebagai pasukan tempur. Sebagian besar didominasi tenaga administrasi, prajurit teritorial dan pendukung lainnya.
Maka tidaklah mengherankan bila pada waktu lalu mantan Panglima TNI Endriartono Sutarto mengatakan sulit mengatur tugas prajuritnya dihadapkan dengan padatnya tugas yang harus dihadapi oleh TNI. Tenaga prajurit TNI seperti diperas. Banyak batalyon yang tidak sempat beristirahat cukup di home base. Tidak sempat melaksanakan program latihan. Satu tugas selesai, tugas lain telah menghadang. Bahkan rata-rata masa penugasan pasukan TNI lebih dari satu tahun. Padahal idealnya penugasan pasukan di medan operasi tidak lebih dari enam bulan.
Dari sisi persenjataan yang dimiliki TNI juga sangat memprihatinkan, baik dari sisi kuantitas dan kualitas. Sangat jauh ketinggalan dibanding negara tetangga yang walayahnya lebih kecil. Kekuatan armada laut menurut KSAL Laksamana Slamet Subiyanto yang dengan jujur membeberkan kondisi peralatan alutsista yang dimiliki TNI Angkatan Laut. Kapal perang Indonesia jumlahnya sangat sedikit jauh dari ideal dan dibominasi kapal- kapal tua. Menurut data yang bersumber dari Cordesman dan The Military Balance 2005 kapal perang yang dimiliki Indonesia 158 buah. Dari jumlah tersebut sebagian besar lebih dari 70 persen merupakan kapal angkut yang sudah berusia tua dan tidak dapat dioperasikan lagi. Sementara kapal pemukul seperti jenis korvet, fregat maupun kapal selam jumlahnya dapat dihitung dengan jari. Kapal tempur yang dimiliki TNI AL juga tidak dilengkapi dengan persenjataan yang memadai.
TNI Angkatan Laut kini tengah berusaha melengkapi kapal perangnya dengan senjata yang lebih modern seperti exocet. Bandingkan dengan kekuatan laut yang dimiliki negara tetangga. Angkatan Laut Thailand diperkuat 168 kapal perang, Malaysia 165, Singapura 71 dan Filipina 105 kapal perang.
Begitupula dengan kekuatan udara yang dimiliki Indonesia. Untuk radar saja, jumlah radar TNI AU masih sangat jauh dari kebutuhan ideal. Hanya memiliki 17 radar dari 32 kebutuhan ideal yang bisa mengkover seluruh wilayah udara Indonesia. Sementara pesawat tempur Indonesia juga sangat minim. Indonesia hanya memiliki pesawat tempur kurang lebih 107 dari berbagai jenis. Bandingkan dengan pesawat tempur Thailand yang diperkuat dengan 241 buah, Malaysia 101 buah, Singapura 154 buah, Philipina 117 buah. Jumlah tank sebagai alutsista andalan angkatan darat juga sangat sedikit dibandingkan kekuatan tank negara tetangga. Indonesia hanya memiliki 1.197 buah dari jenis tank dan panser, Thailand 2.011 buah, Malaysia 1.236, Singapura 2.104 buah dan Philipina 604 buah. Kekuatan militer tersebut belum dibandingkan dengan kekuatan militer dari Australia dan New Zealand, negara tetangga Indonesia di sebelah selatan.
Kondisi kekuatan TNI yang sangat minim itu tentu diketahui oleh militer asing. Tidaklah mengherankan bila militer asing mulai berani pasang aksi. Memprovokasi tentara kita dengan melakukan pelanggaran wilayah baik udara maupun laut. Membuat masalah dengan klaim-klaim sepihak wilayah yang selama ini sebagai wilayah Indonesia, seperti yang dilakukan Malaysia di perairan Ambalat. Eskalasi ancaman terhadap Indonesia bukan semakin ringan, sebaliknya malah semakin meningkat. Pertahanan militer harus diperkuat, salah satunya dengan penambahan Alutsista modern yang dibutuhkan TNI.
Ironisnya, dalam setiap pengadaan Alutsista sering berjalan kurang mulus. Selalu terjadi hambatan baik dalam hal kebijakan maupun pelaksanannya di lapangan. Rencana maupun pelaksanaan pembelian alutsista selalu saja berjalan alot di DPR. Lebih parah lagi banyak pembelian peralatan militer yang berbuntut terjadinya penyelewengan. Hal ini bisa kita cermati dengan kebijakan pemerintah pada waktu akan membeli panser VAB buatan Perancis untuk memperkuat Kontingen Garuda di Lebanon yang perdebatannya sangat panjang di DPR.
Kasus pembelian kapal eks Jerman Timur, kasus pembelian Sukhoi, Hellycopter MI -35, MI 17 dan kasus pengadaan peralatan militer lainnya. Dari beberapa kasus tersebut dapat disimpulkan belum dimiliknya kesadaran terhadap krisis terkait kondisi militer dan spektrum ancaman yang tengah dihadapi. Harus ada sense of crisis dari pemerintah, DPR dan para pejabat yang terkait dengan pembelian persenjataan militer, sehingga hambatan dan kasus terkait dengan pembelian senjata dapat dihindarkan dimasa yang akan datang.
Sudah waktunya TNI dilengkapi dengan peralatan dan persenjataan yang memadai. Tidak ada rakyat yang bangga kalau memiliki tentara yang lemah. Kita akan bangga bila TNI menjadi militer yang kuat dan mampu menjaga keutuhan dan kedaulatan negara.

Penulis alumnus Fisipol UGM, tinggal di Bogor

Tidak ada komentar: